Jumat, 08 Juli 2011

EKSISTENSI PERIBAHASA DALAM PENDIDIKAN

Oleh : Dra. Siti Sahara


Adalah suatu kebanggaan bagi masyarakat Indonesia bahwa peribahasa masih hidup dan berkembang di tengah masyarakat. Keberadaan peribahasa itu merupakan pencerminan budaya bangsa yang telah ada sejak dahulu kala. Ia dapat berfungsi selain alat untuk berkomunikasi juga mengandung unsur pendidikan.
Peribahasa sangat melekat dengan masyarakat lama karena semua sikap, perbuatan dan hal-hal yang dianggap berhubungan dengannya diungkapkan dengan peribahasa. Dengan kata lain masyarakat lama sangat berpegang pada adat. Adat dapat mengatur secara kokoh dalam segala perbuatan dan pekerjaan anggotanya yang dipatuhi sepanjang masa. Adat dapat menentukan hubungan seseorang dengan yang lain dengan peribahasa sebagai alat komunikasi. Atau juga sebaliknya, dapat merenggangkan hubungan terhadap orang yang melanggar adat tersebut. Itulah sebabnya, masyarakat lama selalu menjunjung tinggi adat dalam berbuat dan bertindak, termasuk berbicara dengan menggunakan peribahasa. Dengan demikian peribahasa yang dijadikan sebagai alat komunikasi dapat menjaga kelestarian adat. Hal itu mengandung makna bahwa menjungjung tinggi adat adalah perwujudan pelaksanaan pendidikan yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Masyarakat secara bersama melaksanakan pekerjaan untuk kepentingan mereka selama tidak bertentangan dengan adat yang berlaku di kalangan mereka (Alisyahbana, 1954 : 5). Sikap masyarakat yang demikian itu dinyatakan dalam peribahasa : Duduk seorang bersempit-sempit, duduk banyak berlapang-lapang. Maksudnya, jika duduk seorang diri kurang dapat memecahkan persoalan, tetapi kalau bersama-sama dapat bermusyawarah, mencari jalan keluar bila menemukan kesulitan. Dengan demikian masyarakat sangat menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan, sehingga musyawarah dan mufakat dijadikan putusan akhir dalam menetapkan sesuatu. Dengan demikian bukan hak absolut bagi raja, melainkan kemenakan beraja pada mamak,  mamak beraja pada penghulu, penghulu beraja pada mufakat. (lihat Gozali, t.t : 120).
Peribahasa dan masyarakat lama adalah suatu hal yang tak dapat dipisahkan, karena peribahasa merupakan alat untuk menyampaikan nasihat, teguran atau anjuran. Pengungkapan nasihat, teguran atau anjuran itu disampaikan dan diucapkan dengan kata-kata yang halus. Dengan kata lain orang yang berbicara itu menghindarkan diri dari kata-kata yang kasar.
* * *
Eksistensi peribahasa di tengah masyarakat dipergunakan terutama untuk menghindari kata-kata yang kasar dalam berbicara dengan siapapun juga, supaya si pemakai peribahasa dapat melahirkan perasaan yang terkandung dalam hati sanubarinya dengan cara yang halus dan tepat terhadap yang dimaksudkan. Kehalusan mengungkapkan kata-kata mempunyai peranan penting dalam pergaulan, karena masyarakat akan mengecam anggotanya yang tidak melahirkan perasaan dan pemikirannya dengan cara yang halus. Menggungkapkan kata seperti itu akan membawa pengaruh besar terhadap pembentukan budi pekerti seseorang. Sehingga budi pekerti yang terbentuk pada seseorang itu merupakan perwujudan pendidikan. Setiap orang yang mempunyai budi pekerti yang baik, sudah tentu ia mempunyai perasaan yang halus dan dalam, sehingga tampak pada waktu mengungkapkan kata-kata disampaikan dengan lemah lembut. Tentu bagi si pendengarnya pun merasa senang menerima pembicaraan itu.
Selanjutnya peribahasa itu dipergunakan untuk menyatakan maksud yang luas, tetapi cukup dengan mengucapkan kata yang singkat dan tepat. Sebagian besar isi peribahasa bertujuan untuk memberi pendidikan yang dapat membentu akhlak al-karimah (akhlak mulia) pada seseoang atau masyarakat. Misalnya, melihat orang yang boros cukup mengatakan dengan kata-kata besar pasak dari tiang. Sekilas peribahasa tersebut seolah-olah tidak mempunyai arti, tetapi jika diselami lebih dalam maka tampak mengandung arti yang luas. Maka tepatlah kiranya “peribahasa atau ucapan itu merupakan kiasan yang dilahirkan dalam kalimat-kalimat pendek (Asis Safioedin, 1960 : 19).”
Menurut isi atau artinya, peribahasa itu mencerminkan sifat masyarakat, misalnya sifat satria, tidak suka membuang-buang waktu, hati-hati dan lain-lain.
Sifat satria, tidak mau menyerah begitu saja dinyatakan dalam peribahasa : musuh jangan dicari, bersua jangan dielakkan. Maksudnya, jangan cari-cari permusuhan tetapi jika datang sendiri jangan pula takut. Jika dilihat dari sudut pendidikan, bahwa manusia yang hidup di dunia ini akan mengalami hidup tentram bila menciptakan hubungan yang harmonis dengan orang lain. Harus menempatkan kepentingan orang banyak diatas kepentingan pribadi, sehingga keberadaan seseorang itu akan berguna bagi masyarakat lainnya. Tetapi adalah sebaliknya, jika diantara orang banyak ada terdapat sikap yang merugikan orang lain hendaknya diberi penjelasan atau pengarahan sampai yang bersangkutan sadar dan mengetahui status keberadaannya. Bila hal ini pun tidak dihiraukannya, tentu ia harus dihadapkan dengan kekerasan atau putusan masyarakat banyak yang dilaksanakan terhadapnya.
Sifat tidak ingin membuang-buang waktu, dinyatakan dengan peribahasa : Duduk meraut ranjau, berdiri melihat jarak. Maksudnya, hendaklah selalu sadar dan ingat dalam mengejar usaha tiap sesuatu yang berfaedah bagi diri sendiri. Peribahasa itu mengandung makna bahwa manusia yang hidup di dunia ini tidak berpasrah diri dengan nasib, melainkan harus berusaha sekuat tenaga hingga dapat merubah keadaan hidup yang selama ini dialami. Pernyataan itu sejalan dengan firman Allah bahwa Allah tidak akan merubah nasib seseorang, jika orang itu tidak merubahnya sendiri. Dapat pula diartikan jangan berpangku tangan saja, lebih baik giat bekerja.
Sifat tidak suka membuang-buang tenaga untuk barang yang sia-sia, dinyatakan oleh peribahasa : Berkayuh ke hilir tertawa buaya, bersuluh di bulan terang tertawa harimau. Maksudnya segala perbuatan yang sia-sia ditertawakan oleh orang yang berakal. Karena itu sebelum melakukan suatu perbuatan hendaknya dipikir terlebih dahulu, apakah perbuatan itu bermanfaat untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Jika tidak bermanfaat, sebaiknya perbuatan itu tidak usah dilakukan, sebab akan sia-sia, tidak membawa keberuntungan hidup di dunia maupun di akhirat nanti.
Sifat hati-hati dan teliti sebelum melakukan suatu pekerjaan, agar jangan merugikan diri sendiri dinyatakan oleh peribahasa, antara lain : Ingat sebelum kena. Maksudnya hendaklah ingat dalam suatu perkara, supaya janagn terpedaya dan habis harta dengan percuma. Peribahasa itu menganjurkan kepada manusia agar berhati-hati melakukan suatu tindakan baik dengan lisan maupun dengan perbuatan. Jika hal ini terjadi seseorang itu akan menanggung resikonya.
Sifat menyesuaikan diri di mana berada, dinyatakan dalam peribahasa : Masuk ke kandang kambing mengembek masuk ke kandang kerbau menguak. Peribahasa ini mengandung maksud bahwa setiap orang kiranya mengerti adat yang berlaku pada tempat ia berada. Atas dasar itu masyarakat setempat akan mengakui keberadaan seseorang sebagai anggota masyarakat. Jika sikap dan perbuatan seseorang bertentangan dengan keadaan yang sedang berlaku, niscaya orang itu tidak akan mendapat tempat di hati masyarakat. Contoh di atas memberikan gambaran bahwa masyarakat Indonesia, terutama  yang dikenal sebagai masyarakat Melayu memiliki berbagai sifat yang berhubungan kehidupan pada masa itu yang tercermin dalam peribahasa.
Masyarakat Indonesia memandang alam sekeliling dengan semua alat yang mereka pergunakan sehari-hari atau hal lain yang mereka jumpai dapat menimbulkan karakter dan kesan dalam kehidupan, “Karena dengan cara demikianlah jalan yang semudah-mudahnya bagi mereka dapat member nasihat, teguran, anjuran terhadap anak didik maupun sesama mereka (Ghazali t.t 120).
Eksistensi peribahasa sebagaian dari bahasa ikut memegang peranan dalam proses mendidik. Langeveld (t.t : 28) mengatakan, “Seseoang anak baru dapat dididik bila ia telah menguasai bahasa, yaitu bila telah memiliki pengertian.” Penguasaan bahasa ini penting sekali untuk menyampaikan sesuatu yang dapat membentuk akhlak anak didik secara pribadi (Langeveld, 1967:32). Dapat dikatakan bahwa si pendidik yang biasa mendidik dengan cara yang halus akan lebih senang mamakai peribahasa dalam pendidikan yang dilakukannya. Anak bukan dididik dengan cara-cara yang kasar seperti mencaci-maki dan membentak, melainkan cukup dengan sindiran dan kiasan saja. Dengan demikian anak yang dididik dan menegerti isi sindiran atau kiasan itu, akan segera mengubah sikapnya
Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagaian besar peribahasa mengandung masalah pendidikan dan nasihat lalu disampaikan kepada anak cucu, sehingga sadar atau tidak sadar mereka kelak dapat menjadi manusia terdidik, berperasaan, dan mengerti sindiran, berguna bagi bangsa dan masyarakat.
Pada zaman dahulu, dan tentu ada juga sekarang, orang tua merasa malu bila anaknya tebal telinga, tak mengerti kiasan dan tak berperasaan. Karena itu, orang tua dalam mendidik anaknya menghindari cara-cara yang kasar. Gaya pendidikan yang demikian merupakan tradisi yang turun-temurun. Karena sifat seseorang adalah milik sifat masyarakat. Malu seseorang adalah malu bersama. Misalnya, peribahasa yang mengandung pendidikan agar si anak mempunyai kemauan yang keras, berbunyi : Tak kayu jenjang dikeping, tak emas bungkal diasah. Seseorang harus berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencapai tujuan. Begitu pula dalam cara menyesuaikan diri diungkapkan dalam peribahasa : Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Di mana ranting dipatah di situ air disauk.
Memerhatikan contoh-contoh peribahasa diatas menggambarkan corak pendidikan dan kehidupan bangsa Indonesia zaman lampau. Peribahasa dan kehidupan masyarakat lama tak dapat dipisahkan. Peribahasa itu sebagai alat utama dalam pendidikan. Sehingga melalui peribahasa dapat mencapai pendidikan yang diharapkan.
Peribahasa diciptakan juga untuk mendidik sesuai dengan tujuan mendewasakan anak, misalnya peribahasa : Takkan cerdik setahun lagi. Peribahasa ini benar-benar merupakan pukulan yang sangat tajam bagi seorang anak didik yang melakukan sesuatu perbuatan yang sangat merugikan. Makna peribahasa itu ialah orang lain dapat dididik atau diajar dalam sehari atau dua hari diharapkan sudah mengerti apa yang dimaksud. Janganlah mendidik memakan waktu yang lama sampai bertahun-tahun namun belum juga cerdik. Pernyataan makna peribahasa itu jelas mengandung pendidikan.
Eksistensi peribahasa dalam pendidikan mempunyai bidang yang bervariasi. Keanekaragaman itu terwujud dalam peribahasa. Misalnya, seseorang dididik agar hidupnya selalu hemat, tidak boros dan foya-foya, diungkapkan dalam peribahasa berbunyi : ketika ada jangan dimakan, telah tiada baru dimakan. Maksudnya, bila suatu usaha mendapat hasil yang banyak, janganlah hasilnya dihabiskan dalam waktu singkat saja, bahkan tidak membawa manfaat untuk kelangsungan hidup. Jika tak ada pencaharian atau penghasilan lagi, barulah simpanan atau persiapan itu dikeluarkan dan dipergunakan untuk memenuhi hidup. Cara yang ditempuh seperti demikian itu menunjukkan suatu gaya hidup yang tidak berlebih-lebihan yang telah pernah tumbuh dan berkembang sejak dahulu di kalangan masyarakat.
Demikian pula kalau ingin agar anak berbudi baik, sopan santun dalam hidupnya dapat disindirkan degan peribahasa sebagai berikut : Yang kurik kundi, yang merah saga, yang baik budi yang indah basa. Yang disenangi orang adalah budi pekerti yang baik yang dapat diperlihatkan pada orang lain. Agar budi pekerti itu berkenan di hati orang lain harus diperlihatkan pula bahasa yang lemah lembut, bertutur sopan serta tepat memilih kata-kata yang akan dipakai.
Begitu pula melalui peribahasa si anak didik agar jujur, dapat dipercaya, dan sama sekali tidak berbuat kecurangan sehingga kepercayaan orang selama-lamanya. Misalnya ditampilkan dalam peribahasa sebagai berikut : Sekali lancang ke ujian,seumur hidup orang tak percaya.
Anak yang sudah biasa mendengarkan peribahasa dan sindiran-sindiran halus mudah dapat memakai peribahasa itu. Mereka dapat mengerti dengan segera makna-makna peribahasa itu. Misalnya, seseorang bertengkar dengan yang lain, mereka tak mau langsung perang mulut dengan kata-kata kias, tapi mereka sindirkan dengan peribahasa sehingga lawannya cepat megerti dan merubah sikapnya. Demikian pula dalam pergaulan sehari-hari di rumah tanggga kalau si ibu menasehati anak yang suka berkelahi dengan mengatakan, kamu ini seperti anjing dengan kucing saja. Maka si anak sudah mengerti bahwa tak boleh saudara sendiri dijadikan lawan (berkelahi). Kalau si anak malas menghapal pelajaran atau rajin, maka orang tuanya akan berkata lancar kaji karena diulang.
* * *
Demikian eksistensi kehidupan peribahasa mulai berkembang dalam diri anak hingga mereka dewasa selalu menggunakan peribahasa sebagai alat penghubung antara seorang dengan yang lain.
Peribahasa telah dapat menyampaikan nilai-nilai mendidik yang utama, misalnya menjauhi kejahatan, membuka pintu kebaikan. Menegakkan keadilan dan kejujuran, serta menganjurkan agar mempunyai pendirian yang tetap.
Memperhatikan uraian di atas maka nampaklah bahwa nila-nilai pendidikan yang berlangsung dapat disampaikan pada anak didik melalui peribahasa. Kedudukan peribahasa dalam masyarakat lama untuk menghindari kata-kata yang kasar ketika menyampaikan buah pikirannya kepada orang lain. Dalam menyampaikan buah pikiran itu dipergunakan kata-kata yang tepat dalam artinya. Sebab masyarakat lama itu pada umumnya memiliki perasaan yang halus dan dapat menyelami perasaan orang lain. Ditinjau dari isi peribahasa tercermin bahwa masyarakat lama itu betul-betul tidak suka membuang-buang waktu dan selalu berhati-hati dalam segala tindakan dan perbuatan.
Peribahasa itu dapat dijadikan sebagai alat mendidik yang dimulai dari lingkungan atau pendidikan informal sampai pada pendidikan formal. Berhasilnya suatu pendidikan erat hubungannya dengan mempergunakan bahasa yang mudah dimengerti dan dipahami oleh yang dididik. Maka penguasaan bahasa mempunyai peranan penting dalam mempertemukan pendidik dengan anak didik secara pribadi. Pendidik yang dapat menguasai peribahasa itu berarti bahwa ia dapat mendidik melalui peribahasa.
Dalam peribahasa itu ditemukan unsur-unsur pendidikan yang dapat menciptakan anak didik berakhlak baik dan berhati mulia, sopan santun, patuh kepada orang tua, dan lain-lain yang berhubungan dengan pembentukan tingkah laku anak didik itu. Untuk mencapai pendidikan yang dituju, seperti tertera di atas dapat dilihat dalam mempergunakan peribahasa pada sehari-hari. Peribahasa itu ada yang jarang dipakai dan ada pula yang masih hidup di kalangan masyarakat. Bila dihubungkan dengan peran seorang guru, hendaknya ia menguasai peribahasa untuk diajarkan pada anak didik, sebab peribahasa itu suatu khazanah dalam perbendaharaan bahasa Indonesia.
Demikian suatu gambaran tentang eksistensi peribahasa dalam pendidikan yang tepat dijadikan suatu sarana untuk membentuk watak seorang anak didik atau sesama masyarakat. Sudah barang tentu kajian mengenai eksistensi peribahasa ini merupakan langkah awal untuk mengkaji lebih dalam tentang makna-makna yang terkandung dalam peribahasa itu.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Proyek Pengadaan Kitab suci Al-Qur’an.
Alisjahbana, S. Takdir. 1954. Puisi Lama. Jakarta: PT Pustaka Rakyat.
Gazali, (tanpa tahun). Langgam Sastra Lama, Jakarta Tintamas.
Lavengeld, M.J. (tanpa tahun). Out Wikkelinge Psychologie, terj. S. W, Noewarno.
......................., 1967. Beknoopte Theoritische Paedagogiek, terj. J.P. Simanjuntak, Jakarta, IKIP Jakarta.
Pamuntjak, K.st Iskandar, A. Dt. Madjoindo. 1953. Peribahasa. Jakarta: Balai Pustaka.
Safioeddin, Asis, 1960. Seni Sastra Indonesia, Bandung: Toko Buku Pelajar.

1 komentar:

  1. emperor casino online - shootercasino
    imperial casino 제왕카지노 online. Play Free 바카라 Online Slots 메리트 카지노 주소 Games & Enjoy Huge Jackpots! Your best casino slot awaits. Play today! ✓No Deposit Bonus.

    BalasHapus