Jumat, 08 Juli 2011

PEMIKIRAN MU’TAZILAH TENTANG AL – USUL AL – KHAMSAH



I.     PENDAHULUAN
Mu’tazilah yang lahir abad ke-2 Hijrah membawa dimensi baru dalam pemikiran teologi. Ia membawa masalah-masalah teologi lebih mendalam bila dibanding dengan teologi lain. Pembahasan teologis yang dilakukan oleh Mu’tazilah lebih rasional, karena kaum Mu’tazilah lebih banyak menggunakan akal dalam pembahasannya. Jika ada arti ayat yang tidak dapat ditangkap oleh akal, maka mereka melakukan ta’wil hingga ada kesejajaran antara arti ayat Al-Qur’an dengan akal. Hal itu pula yang menyebabkan golongan ini dikenal dengan sebutan “Kaum rasionalis islam” (Harun Nasution, 1972 : 36).
Kaum Mu’tazilah merupakan kelompok yang berfikir rasional yang pertama dalam Islam. Mereka berjasa dalam menyusun teologi yang sistimatis dan filosofis sehingga dapat mempertahankan serangan-serangan yang datang dari orang luar, meskipun pada akhirnya banyak orang yang tidak setuju dengan pendapatnya. Kadangkala mereka mendapat caci makian yang sangat berlebih-lebihan dari lawannya karena tidak mampu menangkap pemikiran yang dilontarkan oleh kaum Mu’tazilah itu. Dampak lebih jauh dari adanya perbedaan pendapat dengan kelompok lain itu menimbulkan ajaran-ajaran atau faham masing-masing. Ajaran dasar yang menjadi pegangan kaum Mu’tazilah dikenal dengan sebutan al-Ushul al-Khamsah atau dikenal sebagai “Pancasila” Mu’tazilah (Harun Nasution, 1972 : 42).
Ajaran dasar Mu’tazilah itu adalah (1). al-Tauhid, (2). al-‘Adl, (3). al-Wa’ad, wa al-Wa’id, (4). al-Manzilah bain al-Manzilatain, dan (5). al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar.
Sehubungan dengan ajaran dasar Mu’tazilah itu, tulisan ini secara singkat akan membahas ke lima ajaran dasar dimaksud.

II.     AJARAN DASAR MU’TAZILAH
Ajaran dasar Mu’tazilah yang dikenal dengan sebutan al-Usul al-Khamsah merupakan pegangan bagi setiap pengikutnya. Menurut al-Khayyat, seperti yang dikutip oleh Prof. Dr. Harun Nasution bahwa orang yang mengakui dan menerima kelima dasar itu. Sedang, orang yang menerima hanya sebagian dari dasar-dasar tersebut tidak dapat dipandang sebagai orang Mu’tazilah, sebab lima dasar itu merupakan satu kesatuan yang utuh yang tak dapat dipisah-pisahkan (Harun Nasution, 1972 : 49).
1.      Al-Tauhid
Al-Tauhid yaitu faham tentang keEsaan Tuhan (Allah), sekaligus merupakan ajaran terpenting bagi Mu’tazilah. Golongan ini berusaha secara maksimal untuk mensucikan Tuhan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi nilai-nilai ke-Maha Esa-an Tuhan.
Bagi Mu’tazilah Tuhan itu betul-betul Maha Esa dan tidak ada sesuatu yang serupa denganNya. Karena itu, segala sesuatu yang dapat menimbulkan pengertian “Berbilang” terhadap Tuhan, ditolak oleh Mu’tazilah. Menurut Mu’tazilah yang qadim itu hanya Tuhan. Selain dari Tuhan tidak ada yang qadim. Hanya Tuhan jualah yang bersifat qadim (Abd. Al-Jabbar bin Ahmad, 1965 : 196).
Penjelasan tentang pensucian Tuhan bagi Mu’tazilah dikemukakan oleh Abu Hasan Al-Asy’ari. Kaum Mu’tazilah dikemukakan oleh Abu Hasan Al-Asy’ari. Kaum Mu’tazilah berpendirian bahwa Allah itu Maha Esa, tidak ada sesuatupun yang menyerupainya. Ia Maha Mendengar dan Maha Melihat. Ia tidak ber-jism seperti manusia. Ia tidak berwarna dan tidak pula dapat diraba atau dirasa. Ia tidak pula berkumpul dan dan tidak pula terpisah. Ia tidak bergerak dan tidak pula diam. Allah tidak dibatasi oleh apa pun, tidaj beranak dan tidak pula diperanakkan. Setiap sesuatu yang terlintas dalam pikiran atau tergambar dalam angan-angan, tidaklah serupa dengan Tuhan. Allah lebih awal dan terdahulu dari segalanya. Ia adalah sesuatu yang tidak seperti sesuatu. Ia Maha Mengetahui, Maha Kuasa dan Hidup. Ia qadim dan tidak ada yang qadim selain Dia (Muhammad Abu Zahra, tt. : 141). Pendek kata bahwa Tuhan itu tidak bisa disifati dengan sifat-sifat yang menunjukkan ketidak-azalian Tuhan. Karena itu setiap ada ayat al-Qur’an yang artinya dapat “Melunturkan” keazalian Tuhan oleh kaum Mu’tazilah ditafsirkan dan dita’wilkan hingga mengandung makna majazi, bukan makna hakiki. Sebab, kalau diartikan secara hakiki akan bertentangan dengan ke Maha Esa-an Tuhan (Ahmad Amin, 1963 : 22-23). Memurnikan faham ke Maha Esa-an Tuhan mereka menolak segala pemikiran yang dapat membawa faham syirik. Kalau Tuhan dikatakan mempunyai sifat maka di dalam diri Tuhan terdapat unsur yang banyak, yaitu unsur zat yang disifati dan unsur sifat yang melekat pada zat. Dengan kata lain, Tuhan mempunyai sifat-sifat di luar zat Tuhan. Namun, tidak berarti  bahwa Tuhan tidak “diberi sifat” oleh Mu’tazilah. Tuhan bagi mereka tetap Maha Tahu, Mengetahui, Mendengar dan sebagainya, tetapi itu bukan berarti sifat.
Selanjutnya Mu’tazilah membagi sifat itu pada dua sifat, yaitu sifat zatiah yang merupakan essensi Tuhan seperti : al-wujud, al-qidam, al-hayah, dan al-qudrah. Sedangkan sifat fi’liah adalah sifat-sifat yang merupakan perbuatan-perbuatan Tuhan dalam hubungannya dengan makhluk seperti : al-iradah, al-‘adl, dan kalam (Harun Nasution, 1972 : 50)
Penolakan terhadap sifat Tuhan dalam faham Mu’tazilah apabila sifat-sifat itu berdiri terpisah dari zat; zat di satu pihak dan sifat di pihak yang lain. Komposisi seperti ini melahirkan dua qadim, yaitu zat dan sifat. Adanya dua yang qadim berarti adanya dua Tuhan. Inilah yang tidak dapat diterima oleh kaum Mu’tazilah. Wasil sebagai tokoh utama Mu’tazilah menegaskan bahwa orang yang menetapkan makna sifat sebagai sesuatu yang Qadim berarti orang tersebut menetapkan adanya dua Tuhan (Al-Syahrastani, tt. : 46). Faham ini karena bertujuan semata-mata untuk mentanzihkan Allah.
Untuk mentauhidkan Allah, Mu’tazilah juga mengemukakan pemikiran tentang Al-Quran tiu baharu, bukan qadim. Argumentasi yang dikemukakannya adalah Kalam Tuhan bukanlah sifat tetapi perbuatan tuhan. Karena itu kalam Tuhan tidak kekal, tetapi baharu yang diciptakan Tuhan (Harun Nasution, 1972 : 137). Menurut mereka, Qur’an tersusun dari beberapa ayat dan surat, ayat yang satu mendahului yang lain. Adanya sesuatu yang bersifat terdahulu dan yang datang kemudian, membuat sesuatu itu tidak qadim (Harun Nasution 1972 : 137). Kalau bukan Qadim maka sesuatu itu tidak kekal, sebab yang kekal hanya yang qadim saja.
Mu’tazilah juga menolak Tuhan memiliki sifat jasmani (jism), meskipun dalam Qur’an banyak ditemukan ayat yang menggambarkan seolah-olah Tuhan itu berjism. Mereka menta’wilkan ayat-ayat tersebut dengan mengambil arti yang sesuai dengan akal atau pemikiran mereka. Tuhan menurut Abd al-Jabbar tidak mempunyai badan (materi) dan karena itu tidak mempunyai sifat-sifat jasmani. Misalnya, kata al-‘arsy, tahta kerajaan, diberi interpretasi kekuasaan, al-‘ain, mata, diartikan pengetahuan, al-wajh, muka, dita’wilkan essensi, dan al-yad, tangan, diinterpretasikan kekuasaan (Abd. Al-Jabbar bin Ahmad, 1965 : 227-228). Masih banyak ayat-ayat yang serupa itu ditemukan dalam Qur-an dan mereka diinterpretansikan sesuai dengan akal.
2.    Al ‘Adl
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalh al-‘Adl yang berarti “keadilan”. Ajaran kedua ini ada hubungannya dengan ajaran yang pertama, karena Mu’tazilah ingin mensucikan perbuatan Tuhan dari persamaan dengan perbuatan makhluk. Kaum Mu’tazilah membanggakan dirinya sebagai ahlu al-‘adlu wa al-tauhid (Ahmad Amin, 1963 : 44). Tuhan al-‘adl dalam konsep Mu’tazilah mengandung arti bahwa “Tuhan selalu melakukan perbuatan yang baik dan tidak melakukan sesuatu yang buruk. Tuhan juga tidak akan meninggalkan sesuatu yang wajib dikerjakannya” (Ahmad Amin, 1963 : 132).
Konsep al-Adl Tuhan  bagi Mu’tazilah adalah Tuhan tidak suka kepada keburukan. Ia tidak menciptakan perbuatan-perbuatan manusia, melainkan memberikan kebebasan pada manusia untuk mengerjakan atau idak mengerjakan sesuatu dengan kekuasaan yang dijadikan Allah pada dirinya. Allah tidak menyuruh kecuali dengan sesuatu yang Ia kehendaki dan tidak melarang kecuali hal-hal yang Ia tidak sukai. Ahmad Amin mengemukakan konsep keadilan itu meliputi tiga hal, yaitu;
a.       Allah menghendaki supaya mahluknya baik
b.      Allah tidak menghendaki kejahatan dan tidak memerintahkan kejahatan
c.       Allah tidak menjadikan perbuatan-perbuatan hamba itu baik atau buruk, tetapi manusia itu mempunyai kebebasan dan dialah (manusia) yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Karena itu manusia akan memperoleh pahala karena perbuatan baiknya, dan memperoleh siksaan karena perbuatan jahatnya (Ahmad Amin, 1963 : 45).
Tuhan itu Maha sempurna, tidak memiliki kekurangan apapun jua. Tuhan mesti berbuat adil, mustahil berlaku zalim, karena kezaliman menunjukkan ketidaksempurnaan Tuhan. Tuhan tidak zalim dalam memberikan hukuman, tidak menyiksa anak orang yang musyrik karena dosa orang tuanya, tidak memberikan mu’jizat kepada pendusta, dan tidak membebani manusia dengan beban yang tidak terpikul olehnya. Dengan demikian, Allah bukanlah sumber kejahatan, bila Nampak suatu perbuatan yang tidak baik haruslah dilihat hikmah di belakang perbuatan tersebut (Abd. al-Jabbar bin Ahmad, 1965 : 132). Penyakit dan penderitaan yang menimpa manusia tidak selamanya buruk. Mungkin penderitaan itu merupakan suatu ujian bagi manusia. Jika mereka sabar dan syukur pada Allah, Allah akan memberi pahala. Cobaan atau penderitaan yang dirasakan manusia itu menurut Mu’tazilah merupakan langkah untuk menuju kepada kebaikan. Bahkan menurut kelompok Nazamiah, salah satu sekte dalam Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat melakukan perbuatan buruk (Al-Syarahstani.tt ; 54). Tetapi bukan berarti bahwa Tuhan tidak dapat berbuat buruk, namun mustahil Tuhan akan melakukannya, karena pekerjaan yang demikian itu mengurangi kesempurnaan Tuhan. Pendapat inilah yang melahirkan al-salah wa al-aslah dalam arti Tuhan wajib mewujudkan yang baik bahkan yang terbaik untuk kemaslahatan manusia. Sebab, kalau Tuhan memberikan siksaan tidak untuk kemaslahatan manusia, berarti Tuhan tidak menunaikan kewajibannya (Abd. Al-Jabbar bin Ahmad, 1965 : 153). Dan, Tuhan sebagai Zat yang Maha Sempurna tidak bisa berbuat yang tidak baik. Perbuatan-Nya semuanya wajib bersifat baik. Dengan demikian Tuhan selalu berbuat adil atas mahkluknya.
Perbuatan al-Adl itu ada hubungannya dengan faham lutf (Semua hal yang akan membawa manusia kepada keta’atan dan yang akan menjauhkan manusia dari maksiat. (Harun Nasution, 1972 : 52) atau rahmat Tuhan. Tuhan wajib menurunkan rahmat, seperti wajib mengutus Rasul atau Nabi untuk membawa petunjuk bagi manusia. Tidak mungkin Tuhan itu akan membiarkan hamba-Nya yang hidup di dunia yang penuh cobaan, tanpa memberikan bimbingan. Wahyu tetap diperlukan oleh manusia --sungguhpun akalnya dapat mencapai pengetahuan tentang Tuhan, baik dan buruk serta kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan—karena tidak semua dapat dicapai dengan akal, terutama yang berkaitan dengan hal-hal yang rinci dan alam gaib.
3. Al-Wa’du wa al-Wa’id
Al-wa’du wa al-wa’id, merupakan ajaran dasar yang ketiga bagi Mu’tazilah. Ajaran ini merupakan kelanjutan dari ajaran keadilan. Tuhan tidak akan disebut adil kalau Ia tidak member pahala kepada orang yang berbuat baik, dan kalau tidak menghukum orang yang berbuat buruk. Jika Tuhan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia. Karena itumenepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan. Jika Tuhan tidak menepati janji dan ancaman itu, maka Tuhan berarti mempunyai sifst berdusta (Abd. Al-Jabbar bin Ahmad , 1965 : 135). Ajaran ini erat hubungannya dengan di hari akhir  dari segi dosa dan pahala. Orang yang berdosa besar kekal dalam neraka. Kekekalannya tidak bisa diubah dengan syafaat atau melalui doa keluarga, dan tidak juga oleh permohonan dari orang-orang yang mencintainya.
Orang yang berdosa besar dapat bersih kembali dengan melakukan taubat nasuha. Taubat bukan saja dengan kata-kata, tetapi harus diiringi dengan penyesalan dan berniat tidak akan mengulangi prbuatan tersebut. Taubat juga tidak akan diterima bila dilakukan setelah tidak kuat lagi berbuat ma’siyat atau sudah dekat ajalnya (Ahmad Mahmud Subhi, 1969 : 92). Jadi, Tuhan Maha Adil dan Maha Bijaksana. Karena itu, Tuhan tidak akan menyalahi janjinya. Janji Tuhan berupa pahala dan ancaman pasti berlaku (Muhammad Abu Zahrah,tt, : 142).
Dari ajaran Mu’tazilah tentang ajaran yang ketiga ini dapat diambil dua hal poko, yaitu:
a.       Tuhan tidak mutlak dalam berbuat sesuatu. Perbuatan Tuhan dibatasi oleh janjinya-Nya.
b.      Mu’tazilah berusaha membawa manusia agar berbuat baik, dengan hanya melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang jahat.
4. Al-Manzilah bain Al Manzilatain
Al-Manzilah bain al-manzilatain berarti posisi di antara dua posisi. Posisi menengah bagi pembuat dosabesar yakni diantara mu’min dan klafir, tidak posisi surge dan tidak posisi siksa berat di neraka, tetapi posisi ringan yang terletak di antara keduanya.
Ajaran tentang al-manzilah bain al-manzilatain merupakan ajaran Mu’tazilah yang pertama ketika aliran ini muncul. Ketika ada orang yang bertanya kepada Hasan Basri tentang posisi orang yang melakukan dosa besar. Sebelum Ia menjawab, Wasil bin Atha member jawaban terlebih dahulu, mengatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi ia berada pada posisi diantara dua posisi itu (Al-Syahrastani, tt. : 48). Sejak itu pendapatnya dikenal al-manzilah bain al-manzilatain.
Kaum Mu’tazilah beranggapan bahwa dosa itu ada dua, yaitu dosa besar dan dosa kecil. Kebanyakan yang mashur dikalangan mereka menyatakan bahwa dosa bewsar itu mendatangkan ancaman, sedangkan dosa kecil tidak. Kemudian mereka berkata : “Sebagian dosa besar itu bisa membawa kekufuran, seperti merupakan Allah dengan mahkluk atau membangkang pada hukumNya dan mendustakan beritaNya. Pembuat dosa besar dihukum fasiq, sedangkan fasiq itu terletak di antara dua posisi, tidak kafir dan tidak mukmin” (Ahamd Amin, 1963 : 62-63).
Orang yang melakukan dosa besar tidak kafir, karena ia masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad, tetapi tidak pula mukmin karena imannya tidak sempurna (Harun Nasution, 1972 : 52). Namun ia tetap berkedudukan sebagai orang mukmin dalam aqidah dan seperti orang kafir dalam perbuatan. Mereka berbuat dosa besar akan ditempatkan pada neraka yang lebih ringan azabnya (Muhammad Abu Zahrah, tt. : 143), sedang orang yang berbuat baik masuk surge.
5. Al-amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy’an al-Munkar.
Ajaran dasar yang kelima adalah perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat, yang dianggap sebagai kewajiban bukan oleh kaum Mu’tazilah saja, tetapi juga oleh golongan umat Islam lainnya. Tetapi sejak zaman sahabat hingga sekarang pandangan mengenai pelaksanaanya oleh masing-masing kaum muslimin berbeda pendapat. Sebahagian pendapat bahwa kewajiban pelaksanaan amar ma’rufnahy munkar itu cukup dalam hati dan lisan jika kuasa, tidak perlu harus didukung dengan menggunakan kekuatan pedang. Orang berpendirian seperti hal itu adalah Saad bin Abi Waqqash, Usamah bin Zaid, Ibnu Umar dan Muhammad bin Maslamah. Karena itu diketahui mereka mengasingkan diri dan tidak turut campur tangan dalam peperangan antara Ali dan Mu’awiyah. Yang menganut faham ini ialah kebanyakan para Muhaddisin dan juga Ahmad bin Hambal (Ahmad Amin, 1963 : 64), sementara yang memandang perlu dengan kekerasan adalah Khawarij, sedang Mu’tazilah berpendapat kalau dapat cukup dengan seruan, tetapi kalau perlu dengan kekerasan (Harun Nasution, 1972 : 53).
Syarat-syarat untuk melaksanakan amr ma’ruf nahy munkar bagi orang beriman menurut Abd al-Jabbar adalah :
a.       Ia mengetahui bahwa yang disuruh itu memang sesuatu yang ma’ruf dan yang dilarang itu memang perbuatan munkar.
b.      Ia mengetahui bahwa kemunkaran itu nyata dilakukan orang.
c.       Ia mengetahui bahwa melakukan amr ma’ruf atau nahy munkar itu tidak akan membawa mudlarat yang lebih besar.
d.      Ia mengetahui atau setidaknya menyangka bahwa usahanya akan berhasil.
e.      Ia mengetahui atau mengira setidaknya bahwa apa yang ia lakukan tidak akan membahayakan bagi dirinya atau hartanya (Abd. Al-Jabbar bin Ahmad, 1965 : 142).
III. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.       Ajaran dasar Mu’tazilah yang dirumuskan dalam Al-Usul al-Khamsah merupakan intisari dari pemikiran Mu’tazilah.
2.       Dari kelima ajaran dasar tersebut dapat “diperas” lagi menjadi dua ajaran pokok yaitu : Al-Tauhid dan Al-‘Adl, sebab tiga ajaran lainnya hanyalah merupakan penjabaran saja.
3.       Mu’tazilah disamping menggunakan rasio, juga tidak meninggalkan nas Al-Qur’an dan Hadits mutawatir.
4.       Dari ajaran kelima tersebut terlihat bahwa Mu’tazilah lebih mendalam membahas maslah teologi, terutama dalam menggunakan akal untuk mensucikan Tuhan.
Demikian tulisan ini disamapikan semoga bermanfaat adanya.














KEPUSTAKAAN

Al-Jabbar bin Ahmad, Abd, Syahr al Usul al-Khamsah, Maktabah Wahbah, Kairo, 1965).
Al-Syahrastani, Muhammad bin Abd. Al-Karim, Al-Milal wa al-Nihal, (Daral-Fikr, Beirut, t.th.).
Amin, Ahmad, Duha al-Islam, juz III, cet. Ke-10. (Da al-Kitab al-Araby, Libanon, 1963).
Nasution, Harun, Teologi Islam, Aliran-Aliran, Sejarah, Perbandingan, (UI Press, 1972).
Subhi, Ahmad Mahmud, Fi’lmal-Kalm, (Dar al-Kutub al-Jami’ah, 1969).
Zahrah, Muhammad abu, Tarikh al-Mazahib al-Islamiah, jilid I, (dar al-Fikri al-araby, t. th.).

untuk kesehariannya.

1 komentar: