Jumat, 08 Juli 2011

NAPAK TILAS TAREKAT TIJANIYAH DI CIREBON


Mengenai Makna Tarekat
            Secara harfiah,tarekat berarti jalan,cara atau mode (Shorter Encyclopedia of Islam,974 : 573). Dalam lapangan tasawuf,istilah ini sampai abad ke-11 (5 H) dipakai dengan pengertian jalan yang harus ditempuh oleh setiap calon sufi untuk tujuan berada sedekat mungkin kepada Allah meskipun dibatasi oleh hijab. Hijab dapat dikatakan sebagai suatu kiasan yang mengandung makna sebagai pemisah atau dinding yang membtasi mata batin seseorang dengan Allah SWT, The Encyclopedia of Religion,1987 : 14). Al-Jurjani pernah pula memberikan pengertian tentang tarekat adalah perjalanan tertentu bagi orang-orang menuju ke jalan Allah SWT dengan memutuskan tempat demi tempat, dan mengupayakan tempat tertinggi di dalam tingkat-tingkat.
            Perkembangan selanjutnya, tarekat itu sendiri punya dua pengertian. Pengertian pertama berkaitan dengan pendidikan akhlak dan jiwa bagi mereka yang berminat menempuh hidup sufi. Pengertian ini berkembang pada abad ke- 19-20 dan lebih mendekati suatu alam pikiran atau term, ri’ayah yang mungkin dipergunakan untuk memperdalam syariat sampai hakikatnya, dengan melalui tingkatan pendidikan tertentu yang sering dikenal dengan sebutan maqom atau ahwal. Yang dimaksud maqomat ( jamak dari maqam) jalan menuju kepada Allah yang ditempuh oleh seseorang dengan melalui usaha keras dan tabah hati. Ia sanggup berjuang melawan keinginan hawa nafsu, melawan bujukan serta dan menaati perintah Allah dan menjaui larangan-Nya. Sedangkan ahwal (jamak dari hal) adalah perjalanan batin yang ditemui seseorang tanpa ia sengaja dan tidak mellui usaha keras. Jadi ahwal itu merupakan karunia Allah SWT sedangkan maqamat merupakan hasil usaha dengan harus melalui maqam taqwa, tobat, wara’, sabar, zuhut, ridha, dan tawakal (Sayyed Hossein Nasr, 1973:62-63).
            Tarekat dalam pengertian kedua adalah sutu gerakan yang lengkap untuk memberikan latihan-latihan rohani bagi segolongan orang-orang Islam ajaran-ajaran Islam tertentu. Pengertian ini mulai berkembang mulai abad ke XI akibat daripada persebaran para penganutnya keberbagai daerah yang pada akhirnya mereka menyebarkan isi dan tujuan serta pembentukkan organisasinya, sebagai wadah persatuan bagi anggotanya (Prof.Dr. Abu Bakar Aceh,1990:64).
            Tujuan tarekat adalah untuk mempertebal iman dalam hati para pengikutnya, sehingga tidak ada yang lebih indah dan dicintai selain daripada Tuhan dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah seseorang harus memiliki sifat ikhlas, bersih jiwanya, perbuatan dan niatnya, sehingga seseorang itu merasa dirinya selalu dilandasi oleh Allah (muraqabah). Di samping itu sebagai penganut tarekat, ia harus muhasabah, memperhitungkan laba dan rugi amal yang diperbuat dalam kehidupan yang menuju ke arah kebajikan. Dalam hal itu seseorang harus pula tajarrud, yatu melepaskan segala ikatan yang akan merintangi jalan yang dapat membentuk pribadi muslim sejati melalui pengisian jiwa yang Isyq, yaitu rindu yang tidak terbatas pada ruang dan waktu terhadap Tuhan sehingga kecintaan kepadanya selalu melekat dalam lubuk kalbu selama hidup di dunia dan akan menikmati kebahagiaan yang tiada taranya saat di akhirat kelak. Mereka merasakan kesegaran jasmani yang melebihi kenikmatan yang dialami selama ini bahkan tingkah laku glamour yang terlihat pada sebagian manusia, tidak lebih dari suatu imajinatif, artinya dinikmati tidak secara penuh hati, malah terasa hambar dibanding dengan kenikmatan rohani yang dialami dalam dunia mereka. Demikianlah perilaku setiap para tarekat, yang cukup banyak jumlahnya, seperti tarekat Naqsabandiyah, qadariyah. Syatariyah, Sanusiyah, dll termasuk tarekat tijaniyah yang akan dikemukakan dalam tulisan ini, khususnya untuk yang berkembang di Buntet Cirebon.

Tarekat Tijaniyah
            Nama tijaniyah diambil dari nama suku altijan, suatu suku berber yang hidup di sekitan Tilmizan Aljazair dan pendirinya yaitu Abu ‘al Abbas Ahmad bi Muhammad bin Mukhtar al Tijan, tetapi nama yang dipanggil sehari-hari adalah Ahmad. Nama lengkapnya adalah Muhammad Ibn Abdul Jabbar Ibn Idris Ibn Ishak Ibn Ali Zainal Abidin Ibn Ahmad Muhammad Al-Nafs al-Zakkiyat Ibn Al-Kamil Ibn Al-Hasan al-Mutsannah Ibn Al-Hasan al-Sibti Ibn Ali Ibn Abi Thalib, dari Sayyidinna Fatimah Al-Zahra. Ia lahir pada tahun 1150H, atau 1737/1738M, di Ain Madli sebuah desa Aljazair. Maka, tergambarlah dalam pikiran kita bahwa jika dilihat dari pihak bapaknya, beliau keturunan dari Hasa bin Ali bin Abi Thalib, sedangkan dari pihak ibunya, ia keturunan suku altijan (Muhammad Abdillah,t.t:7,96-97).
            Pada usia tujuh tahun Syekh Ahmad telah hafal Quran dan tekun mempelajari ilmu-ilmu agama seperti ilmu ushul, fiqh dan sastra, beberapa kitab fiqh Maliki – mazhab yang berpengaruh – di Magrib dipelajarinya termasuk karya para sufi yang berpaham al-Asy’ari.
            Pada usia 21 tahun (1171H), dalam usaha untuk memperdalam ilmu pengetahuan syekh Ahmad pindah ke kota Vez, yang terletak di bagian barat dunia Islam, termasuk sebagai pusat studi ilmu agama yang setara dengan Kairo. Banyak ulama besar terdapat disana. Disanalah ia mempelajari ilmu Tasawuf kepada ulama besar antara lain Al-Tayyib Ibn Muhammad al-Yamuhali (W.1180H) dan Muhammad Ibn Al-Hasan al-Wanjali (W.1185H) selanjutnya, setelah ia berumur 30 tahun, ia pun mulai mengamalkan tarekat. Tarekat yang pertama kali amalkan ialah tarekat Qadariyyah kemudian beralih ke tarekat Al-Nasyiriyyah yang diperoleh dari Abi Abdilah. Selanjutnya ia mengamalkan tarekat Ahmad Al-Habib Ibn Muhammad dan tarekat Al-Tawasiyyah. Setelah mengamalkan ajaran tarekat tersebut lalu ia pindah ke Zawiyyah menemui dan belajar kepada syekh Ahmad Qadir Ibn Muhammad Abyadh yang berada di al-Shara.
            Sepanjang perjalanan yang dilalui, terutama waktu akan melaksanakan haji biasanya memanfaatkan waktu perjalanan itu untuk singgah diberbagai tempat guna untuk menuntut ilmu pengetahuan kepada ulama yang ada di daerah yang dilalui itu. Demikian pula syekh Ahmad pada saat berada di Aljazair ia belajar kepada Sayyid Ahmad Abd al-Rahman al-Azhari, seorang tokoh Khalwatiyyah. Kudian ia pergi ke Mesir dan berjumpa dengan seorang tokoh sufi, juga dari kelompok Khalwatiyyah syekh Mahmud al-Kurdi. Kepada mereka syekh Ahmad menuntut pengetahuan tentang ke Khalwatiyyahan. Begitulah petualangan yang dilakukan oleh syekh Ahmad yang menggambarkan atas ketidakpuasaanya terhadap ilmu yang selama ini telah ia peroleh. Diduga “petualangan” syekh Ahmd dari satu tarekat ke tarekat yang lain karena ia tidak merasa puas dengan ajaran yang telah ia pelajari (Ali Harazimi, tt.: 38).
            Pada tahun 1168H, ia berangkat ke tanah suci untuk melakukan ibadah haji. Selesai melakukan ibadah haji, syekh Ahmad ziarah ke kuburan Rasulullah di Madinah. Di kota ini ia berjumpa dengan Syekh Muhammad Ibnu Abd al-Karim al-Saman yang dikenal dengan panggilan Syekh Saman.
            Pada tahun 1196H. (1781/1782H). Syekh Ahmad meninggalkan Tilmizan dan pergi ke pedalaman Aljazair, tepatnya di desa Sidi Abi Sanghu, terletak di tengah padang pasir. Di sinilah ia mulai menempuh hidup baru, terbuka pandangan batinnya seluas mata memandang padang pasir. Di desa ini ia memperoleh hidayah dari Rasulullah mengenai bacaan Talqin, Wirid, Istighfar, selawat dan dzikir sebanyak 100 kali (J. Spenscer Trimingham, 1971 : 108).
            Mulai tahun 1196H, ia memberikan pelajaran wiridnya kepada umat Islam, di daerah Abi Sanghun dan sekitarnya. Wirid-wiridnya ada tiga macam yaitu : Wirid Lazimah, Wazifah dan Khailalah. Dalam wirid Lazimah membaca istighfar, selawat sebanyak 100 kali dan dzikir sebanyak 99 kali pada setiap pagi dan sore hari. Sedang dalam wirid Wasifah, bacaan istighfar 30 kali, dzikir 1000 kali serta selawat al-Fatih Jauharat al-Kamal masing-masing 50 kali. Adapin wirid Khailalah semata-mata hanya membaca dzikir sebanyak mungkin tiap hari mulai dari waktu ashar hingga menjelang waktu maghrib tiba.
            Kecurigaan pemerintah Turki Usmani yang pada masa itu masih menguasai Aljazair (1789) terhadap pemimpin tarekat ini, mendorong ia pindah dan menetap lagi di Vez hingga wafatnya tahun 1815M.
            Banyak ulama besar di kota Vez yang tidak menerima pemikiran dan ajaran yang disampaikan oleh Syekh Ahmad, kecuali klain Syekh Ahmad, tetapi Sultan Mulai Sulaiman penguasa Maroko (1792-1822) sangat menghormati dan mendukungb Syekh Ahmad dan melantiknya sebagai dewan ulama.
            Selama abad ke-19 tarekat tijaniyyah terus berkembang di Afrika Utara bagian barat (magrib). Tetapi yang lebih menonjol lagi perkembangan tarekat tijaniyyah ke arah selatan seperti Senegal, Sogo, Ghana dan Nigeria. Di kwasan ini terdapat kerajaan kecil yang sering berperang satu dengan yang lain. Sebagian besar masih animis, sedagkan dibeberapa kerajaan keluarga raja dan bangsawan sudah masuk Islam. Di pesisir Samudra Atlantik ada benteng-benteng Prancis dan Inggris. Pengaruh mereka terus menyebar ke berbagai pedalaman. Bahkan menjelang abad ke-19 Prncis sempat menduduki seluruh kawasan selatan Afrika ini. Disaat itulah Tijaniyyah berperan sebagai gerakan pengislaman yang paling efektif. Salah seorang Tajaniyyah yang sangat terkenal sebagai pejuang yang gigih melawan penjajahan Prancis adalah Umar bin Said bin Usman al-Futi al-Sinegalli. Ia telah membayat Syekh Hasyim untuk menjadi muqaddam Tijaniyyah. Dari Syekh Alfa Hasyimlah tarekat Tijaniyyah bersentuhan dengan penduduk berbagai negara, termasuk ke Indonesia.

Perkembangan Tarekat Tijaniyyah Di Cirebon
            Jika dilihat dari latar belakang politik diketahui bahwa pemerintahan kolonial Belanda telah turut campur dan mempengaruhi pembagian empat kesultanan Cirebon dalam upaya memperkuat dominasi dan penetrasinya. Hal itu mengakibatan rakyat resah, karena tiada lagi tempat tumpuan untuk berlindung dan mengabdikan diri penuh kesetiaan. Bahkan di pihak sultan sendiri pun tambah resah, karena pendapatannya telah dibatasi, ia tidak dapat lagi memperoleh jalan untuk menambah penghasilan, kecuali menyewakan tanah kepada orang-orang China yang sekaligus sebagai kaki-tangan Belanda. Dibidang agama pun tampaknya Belanda berupaya turut campur mengatur serta melumpuhkan tatanan keagaman yang sesuai dengan ajaran Islam termasuk kekuatan mental ideologi umatnya yang dengan tegas tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Umat Islam sangat gembira dan senang jika keyakinannya tidak diusik orang lain. Tetapi jika keyakinan itu disentuh oleh orang yang berlainan agama, mereka sebagai pemeluknya akan tampil kedepan melakukan suatu perlawanan, sebab orang yang berjuang dan meninggal dalam mempertahankan agama Allah, ia dikatakan sebagai orang yang mati syahid serta akan memperoleh tempat yang sebaik-baiknya di sisi Allah apalagi lembaga-lembaga tradisional itu dilumpuhkan Belanda, masyarakat membuat kegaduhan, huru-hara dan kekacauan. Rasa antipati masyarakat itu terbukti dengan adanya penerimaan pajak dan penjualan wajib semakin berkurang. Belanda mensinyalir bahwa kerusuhan itu digerakkan oleh Pangeran Suryanegara. Bahkan sebagian dari kaum agama yang telah memihak Kanoman ingin membebaskan daerah, rakyat dan agamanya dari segala pengaruh yang berbau kolonial dan perlawanan mereka dilakukan dengan mengarahkan tenaga dan kekuatan fisik (Rosyid Amijaya dkk. 1985 : 23-28).
            Tahun 1809 merupakan titik puncaknya perang Sultan di Cirebon, lalu dikuasai oleh Belanda. Sultan hanya berperan sebagai pegawai negri dan mendapat gaji. Akibatnya disisi lain timbul pemimpin-pemimpin pribumi yang tidak kehilangan hubungan baiknya dengan Islam yaitu para Kyai. Sejak itu peranan kepemimpinan bergeser dari sultan-sultan ke tangan para Kyai yang hidup bersama para pribumi. Di daerah pedesaan Kyai merupakan kelompok elite dalam struktur sosial, politik dan ekonomi masyarakat. Di samping dapat melaksanakan profesinya sebagai pendidik, pengajar dan penganjur Islam, Kyai juga memahami kehidupan politik (Taufiq Abdulloh, 1987 : 47). Kyai tampil sebagai figur yang mempunyai pengaruh jauh melampaui perbatasan desa hingga sampai ke pesantren, sementara kedudukan sultan semakin terperosok.
            Dalam lingkungan pesantren perkembangan tradisi tarekat, semua Kyai berperan sebagai pemimpin masyarakat dalam melaksanakan shalat wajib, dan dzikir. Bentuk dzikir dan rumusan-rumusan nama Allah yang diucapkan Kyai dan santrinya dengan sungguh hati mengikuti san mempraktikan apa yang diberikan Kyai tersebut, karena mereka beranggapan bahwa tarekat yang diajarkan oleh gurunya dianggap sah dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam (Zamakhsyari Dofier , 1985 : 135-137).
            Dalam abad ke-19 tarekat berfungsi sebagai wadah persatuan dalam melaksanakan ajaran Islam dan sekaligus merekrut dan memobilisasi kekuatan untuk menghadapi kolonialisme penjajah, sehingga banyak pembesar keraton beralih ke kehidupan tarekat. Pangeran Pasarean, Pangeran Dipati Carbon, Panembahan Rtau hingga Pangeran Dipati Anom adalah pengamal dan guru Qadariyyah wa Naqsyabandiyyah. Pandangan sesepuh keraton itu terhadap tarekat yang mampu memersatukan umat Islam untuk melawan penjajah karena kharisma yang dimiliki seorang Kyai.
            Kiai dalam suatu pesantren adalah pemimpin paling dominan dan telah memainkan peranandalam menentukan prosesperkembangan sosial, kultural, keagamaan dan politik.Dalam periode sekarang pun kiai telah menunjukkan vitalitasnya dalam memimpin umat Isla. Disaat berkembangnya pembangunan ekonomi, para kiai dianggap sebagai salah satu kelompok pemimpin yang menonjol dalam memenuhi kebutuhan menumbuhkembangkan moral bangsa Indonesia(Zamakhsyari dofier,1985:171). Kehidupan santri dan kiai merupakan unsur yang paling esensial dalam suatu pesantren. Pengaruh kiai yang sangay juat merupakan kunci keberhasilan berkembangnya tarekat di pesantren. Istilah tarekat diberi makna oleh masyarakat sebagai suatu kepatuhan secara ketat kepada peraturan-peraturan syariat islam dan mengamalkannya dengan sebaik-baiknya baik yang bersifat ritual maupun sosial.
            Akan sama halnya dengan pesantren lain, Pesantren Buntet merupakan sebuah pondok atau asrama pendidikan Islam tradisional yang didalamnya terdapat sejumlah murid (santri) yang tinggal bersama dan belajar dibawah bimbingan seorang guru atau lebih. Mereka disebut oleh santri dengan panggilan pak ustadz atau kiai. Disanalah asal mula lahirnya tarekat Tijaniyah.
            Dalam sejarahnya, pada bulan Muharram 1346(juli 1927) ketika kiai anas atas mandat kakaknya (kiai Abbas) saat menunaikan ibadah haji menemui Sayyid Ali at Tayyib di Madinah dan SyekhAlfa Hasyim di Madinah yang berguru  kepada Syekh al-hajj Sasid dari Syekh Umar bin Said al-Futy yang diperolehnya dari Syekh Muhammad al-Ghali dan bersumber dari Syekh Ahmad al-Tijani berjumpa dengan mereka dan memperoleh  pengetahuan tentang ajaran tarekat Tijaniyah. Kemudian pada bulan Rajab 1346 (Desember 1927) Kiai Anas dibaiatmenjadi guru tarekat dan mulai mengajarkan tarekat Tijaniyah kepada masyarakat Buntet (G.F. Pijper, 1987:88).
            Kiai Anas memperkenalkan tarekat Tijaniyah melalui pengajaran kitab-kitab pegangan tarekat Tijaniyah seperti Jawahir al-Ma’ani,  Fath al-Rabbani, Bughyatul Mustafid, ia memberikan pelajaran itu setiap hari senin dan kamis. Mereka berkumpul di halaman pesantren untuk mendapatkan pelajaran dari Kiai Anas bertempat di Langgar. Materi yang diberikan berkisar sekitar pokok-pokok ajarab tarekat Tijaniyah dan berlatih melakukan wirid wazifah. Pada hari Jumat setelah waktu salat ashar anggota tarekat melakukan hailalah. Syarat-syarat yang lunak inilah yang mempermudah meluasya tarekat Tijaniyah, sehingga dalam waktu yang singkat mereka bisa menyebarluaskannya kepada masyarakat(G.F Pijper,1987:99).
            Dari kondisi seperti itu, seperti yang dinyatakan Zamakhsyari Dhofier bahwa suatu gerakan keagamaan yang baru masuk kedalam masyarakat yang baru untuk dapat diterima secara mudah dan cepat perlu memperhatikan kondisi masyarakat tersebut dan harus dapat menunjukkan perbedaan dengan yang sudah ada(Zamakhsyari Dhofier,1978:17).
            Perkembangan tarekat Tijaniyah di Cirebon bermula dari datangnya Sayyid Ali al-Tayyib seorang muqaddam Mesir ke Indonesia (1928). Ia mula-mula menetap di Cianjur, lalu pindah ke Bogor dan kemudian ke Tasikmalaya.Dalam kegiatannya sebagai guru , ia mengunjungi pesantren Buntet dan berjumpa dengan para ulama yang ada di sana. Kegiatannya sebagai guru, ia memberi ilmu pelajaran tentang hadis dan ilmu tafsir, di samping mengajarkan tarekat Tijaniyah.
            Salah satu faktor yang mendukung perkembangan tarekat ini karena ajaran yang disampaikan Kiai Anas  memperoleh dukungan kuat dari Kiai Abbas (kakaknya)untuk meneruskan dan menjaga kewibawaannya di tengah masyarakat awam. Para pengikut punturut membantu Kiai Anas dalam melaksanakan upacara-upacar ritual tarekat Tijaniah misalnya membaiat Kiai Muhammad Rais dari Pulasaren Cirebon, Kiai Sholeh dari Pesantren Buntet,Kiai Badruzzaman dari garut, Kiai Usman Domiri dari Cimahi Bandung menjadi pengikut Tijaniyah dan kemudian mereka mengembangkan tarekat tersebut di daerahnya masing-masing. Kegiatan tarekat Tijaniyah ini sempat menarik perhatian Belanda, terbukti pembantu penasihat het Kantoor voor Islamitische en Arabische Zaken, van der Plaas dan G.F Pijper datang ke Cirebon untuk melakukan konsultasi dengan para ulama tentang perkembangan Islam yang berkaitan dengan pranata sosial keagamaan pada masa itu.
            Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan Pemerintah Belanda dapat diketahui bahwa selama   tahun 1928  tarekat Tijaniyah telah terkenal di beberapa kabupaten antara lain Cirebon, Brebes, Pekalongan, Tegal dan Ciamis (G.F Pijper,1987:99-100). Lebih lanjut   dikatakan bahwa di Weru Plered terdapat 60 orang pengikut, di Tasikmalaya terdapat 7 orang muqadda. Pada tahun 1931 di Brebes dabtegal juga terdapat guru tarekat Tijaniyah.
            Perkembangan terekat Tijaniyah diwarnai berbagai kontroversi khususnya dari kalangan penganut berbagai tarekat lain yang ada di Indonesia tentang bacaan salawat, fatih dan jauharat al-Kamal sama nilainya dengan membaca Al-Quran enam kali dan masih ada cara lain yang menjadi sorotan yang sangat kontroversi.
            Perkembangan selanjutnya ketika tarekat Tijaniyah di Pimpin Hawi Anwar mengalami perkembangan pesat sampai keluar Cirebon. Cara yang ditempuhnya dengan memberikan pengajian kitab-kitab pegangan tarekat Tijaniyah dana manakib Fijni. Secara perlahan dan berangsur-angsur para peserta pengajian dengan kesadaran sendiri meminta di baiat untuk menjadi tarekai ini. Dikalangan santri juga banyak yang menjadi pengikut Tijaniyah seperti K.H. Muhammad Yusuf dari Surabaya, Kiai Khozi Syamsul Arifin dari Probolinggo, Kiai Jauhari dari  Madura, Kiai Sya’roni dari Brebes dan Syekh Ali Basalamah dari Tegal.
            Setelah Kiai Hawi wafat (1980) digantikan oleh Kiai Junaidi Anas, putra Kiai Anas yang tertua, Kiai Junaidi tinggal di pesantren Sidamulya dengan santri yang menetap sebanyak 50  orang dan yang tidak menetap sebanyak 60 orang. Kiai Junaidi mengadakan pengajian Kamisan yang membahas masalah-masalah fiqhiya di masjid Al-Ikhlas. Pengajian yang serupa tapi tidak sama diikuti oleh masyarakat yang berumur 30 tahun ke atas datang dari desa Sidamulya, Kiwiyar, Gemulung, dan berjumlah sekitar 70 orang setiap hari Rabu bersama-sama membaca manakib.
            Di daerah Pesawahan Lemahhabang  Sidang Laut terdapat seorang muqaddam Tijaniyah diikutin sejak tahun 1982 dan memimpin pesantren 150 santri putra-putri. Kiai Rasyid adalah alumni pesantren Buntet dan menjadi pengikut Tijaniyah sekaligus dipercaya menjadi seorang muqaddam oleh Kiai Akyas (adik Kiai Anas). Pengikutnya 400 orang atau lebih. Mereka berasal dari daerah Pesawahan, Ciawi,Sedong, Pamanukan juga Jakarta yang datang sengaja untuk menjadi pengikut Tijaniyah. Setiap tanggal 16-17 Shafar mereka mengadakan “Idhul Khatmi”, peringatan pengangkatan Syekh Tijani wali besar, disamping membaca manakib, hailalah dan pertemu anggota Tijani.
            Di Buntet sendiri ada dua muqaddam yaitu Kiai Syifa Akhyas dan Kiai Hawi. Pada tahun 1985 Kiai Syifa Akhyas dipercaya menjadi muqaddam dan memberikan pelajaran pada setiap hari Kamis pagi bertempat di rumah Kiai Syifa yang juga dihadiri masyarakat  Buntet. Menurut penuturan Kiai Syifa bahwa pengikut Tijaniyah yang telah di baiat sekitar 400 orang dari sebagian kecamatan Astanajapura yang melputi desa Mertapada kulon, Mertapada wetan, Kanci,Buntet, Kendal, Japura, Kidul dan Manjul. Jumlah tersebut bisa dilihat apabila diadakan acara Kamis Kliwon, karena dalam acara tersebut diadakamn manakib Tijaniyah dan acara ritual lainnya seperti wirid dan dzikir. Seorang muqaddam dari generasi muda yaitu Drs. Fahim Hawi putra Kiai Hawi, juga mengadakan pengajian rutin dirumahnya dan aktif mengikui berbagai pertemuan jamiiyah Ahl al-Thariqah Muktabarah mewakili pesantren Buntet.
            Tarekat Tijani yang berkembang di Jawa Timur setelah melalui perkenalan K.H. Muhammad bin Yusuf, kemudia meluas ke Malang, Probolinggo, Sumenep, Lumajang, Blitar, Bondowoso, Bangkalan, Jember dan Situbondo. Sedangkan  ke Jawa Tengah diperkenalkan oleh Kiai Sya’roni dari Jatibarang Brebes hingga berpengaruh sampai ke Pemalang, Brebes dan Tegal (Muslim Aburrahman,1988:83).
            Dengan demikian tarekat Tijaniyah di Cirebon, khususnya di Buntet buakan untuk menyaingi tarekat yang telah ada seperti tarekat Syatariyah tetapi untuk menyempurnakan tarekat dan memperluas wawasan bertarekat sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah.





DAFTAR PUSTAKA

Aceh, Abubakar,   Pengantar Sufi dan Tasawuf, (Solo:CV Ramadhani, 1990), cet. Ke-5.
Gubb H.A.R. dan J.H. Kramers,   Shorter Encyclopaedia of  Islam  (Leiden: E.J Brill, ,1974).
Efiade, Merced,  The  Encyclopaedia of  Religion (New York: Macmilan Publishing Company,1987).
Abdillah, Muhammad,  Al-fath al-Rabbani, (surabaya: Maktabat Ibn Nasir IbnNabhan,tt.).
Hazzimi, Ali,  Jawahir al-Ma’ani (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halibi,tt.).
Triningham, J. Spencer,  The Sufi Orders in Islam (London: Oxford University Press,1973).
Amidjaya,Rosyad, et al.,   Pola kehidupan Santri Pesantren Buntet Cirebon,
 (Yogyakarta: Depdikbud,1985)
Abdullah, Taufik,   Islam dan Masyarakat, Pantulan sejarah Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987).
Dofier, Zamakhsyari,  Tradisi pesantren, Suatu Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai,
 (Jakarta:LP3S, 1985), cet. Ke-5.
G.F. Pijper,  Fragmenta Islamica, Beberapa Studi Mengenai Islam di Indonesia Awal Abad XX,
(Terj.) (Jakarta: UI Press, 1987).
Abdurrachman, Moeslim,  “Tijaniyah Tarekat yang Dipersoalkan”, Pesantren, No. 4/Vol. V/1988. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar